BALUARTI.COM - Sudah hampir 7 bulan Donald Trump diblokir di sosial media akibat pidatonya yang diduga memicu keributan di depan gedung Capitoll Hill pada awal Januari lalu. Ketiga perusahaan tekologi yang memblokir akun Trump diantaranya Facebook, Twitter, hingga Youtube.
Tidak terima dengan "pemblokiran massal" yang diterimanya tersebut , Trump mengajukan gugatan class action terhadap Facebook, Twitter, dan Google. Presiden Amerika Serikat ke-45 itu mengajukan gugatan di pengadilan federal di Florida pada 7 Juli 2021. Isi gugatannya tersebut, ia menuntut ketiga perusahaan teknologi raksasa itu untuk segera menghentikan pemblokiran, pembungkaman, dan penyensoran terhadap akun media sosial Trump.
"Kami meminta pengadilan distrik selatan Florida, AS untuk memerintahkan penghentian segera terhadap penyensoran ilegal dan memalukan perusahaan media sosial terhadap rakyat Amerika," kata Trump.
Selain menggugat perusahaan, Trump juga turut menyeret nama dari masing-masing CEO ketiga perusahaan teknologi terebut dalam gugatan miliknya. Dalam argumen hukum yang diajukannya, Trump berpendapat bahwa tiga perusahaan teknologi raksasa dunia itu dinilai tidak sesuai konstitusional ketika menghapus akun Trump dari platform.
Trump menuntut ganti rugi kepada ketiga platform tersebut dan meminta akunnya segera dipulihkan. Amandemen Pertama Konstitusi Amerika Serikat mengatakan "Kongres tidak akan membuat hukum yang mengatur negara untuk mensponsori agama, atau yang melarang penyelenggaraan kebebasan beragama; atau membatasi kebebasan berbicara, atau kebebasan pers; atau hak-hak rakyat untuk berkumpul secara damai, dan mengajukan petisi kepada Pemerintah agar menanggapi keluhan".
Gugatan class action Trump ini juga telah didukung oleh America First Policy Institute (AFPI), sebuah organisasi nirlaba politik yang dikumpulkan bersama sejak beberapa bulan lalu oleh mantan anggota dari pemerintahan Trump.
Dalam siaran pers terpisah, AFPI mengatakan bahwa gugatan yang diajukan oleh Trump merupakan langkah untuk membela kebebasan berbicara orang Amerika. Dan ketiga perusahaan yakni Facebook, Twitter, dan Google dituduh telah melanggar hak tersebut.
"Kasus ini akan membuktikan penyensoran ini melanggar hukum. Ini tidak konstitusional, dan sama sekali tidak mencerminkan Amerika," kata Trump.
Dalam gugatan class action kali ini, Trump juga turut menghadirkan situs khusus yakni takeonbigtech.com, yang diperuntukkan bagi mereka yang ingin bergabung Bersama Trump untuk melawan tiga perusahaan teknologi raksasa itu.
Pemblokiran massal itu berawal dari pidato Trump yang diduga memicu kericuhan di depan gedung Capitoll Hill pada awal Januari lalu. Ketika iu, para pengunjuk rasa yang berasal dari pendukung Trump masuk ke gedung Capitol, saat Kongres hendak mengesahkan kemenangan Presiden Joe Biden di pilpres AS. Atas insiden tersebut, Facebook dan Instagram langsung mengunci akun resmi Donald Trump.
Facebook menilai, Trump berpotensi dapat memicu kekerasan lebih lanjut jika dia dibiarkan begitu saja. Pihak Facebook mengatakan pemblokiran akun Mantan Presiden Amerika itu akan berlangsung selama dua tahun, terhitung sejak pemblokiran pada tanggal 7 Januari 2021 lalu.
VP of Global Affairs Facebook, Nick Clegg mengatakan setelah masa pemblokiran selama dua tahun tersebut berakhir, mereka akan meninjau kembali apakah akun Trump sudah tidak berbahaya bagi keselamatan publik atau sebaliknya.
Anak perusahaan Google, YouTube, juga ikut memblokir kanal milik Trump sejak 13 Januari lalu, hal tersebut dilkukan karena ditemukannya beberapa video yang dinilai bisa "menyulut kekerasan berkelanjutan" di AS. Saat itu, penangguhan kanal YouTube milik Trump sudah diperpanjang sebanyak dua kali. Namun, CEO YouTube, Susan Wojcicki mengatakan bahwa pemblokiran tersebut tidak bersifat permanen dan bisa dicabut kapan saja.
"Kami akan mencabut penangguhan pada saluran Donald Trump, ketika kami menentukan apakah risiko kekerasan telah menurun," kata Wojcicki.
Berbeda denga napa yang dilakukan oleh Twitter. Platform yang didirikan oleh Jack Dorsey ini memilih untuk memblokir akun resmi milik Trump secara permanen.
Selain itu, akun Trump di sejumlah aplikasi seperti Discord, Snapchat, Twitch, hingga TikTok juga ikut diblokir. Hal tersebut membuat Trump menciptakan media sosialnya sendiri. Namun, "media sosial" buatan Trump yang menyerupai blog itu hanya bertahan selama satu bulan sebelum akhirnya ditutup.